Opa Adi 90 Tahun Tak Makan Nasi
Raijua - Pagi hari Kamis 21 Desember 2017 itu, saya bangun terlambat. Ketika membuka Handphone dua panggilan tak terjawab. Sudah kebiasaan saat istirahat, handphone dibiarkan mode silent dan jauh tempat tidur. Sehingga tak terasa ada yang memanggil.
Satu panggilan dari Mama di Raijua, tempat saya dilahirkan. Panggilan kedua dari adik di Maumere Sikka. Filing saya tak enak. Saya pun bergegas mandi karena harus mengikuti acara yang tidak bisa ditinggalkan.
Selang beberapa jam, pesan pendek masuk dari adik dikirim dari kampus. Kk, Opa meninggal. Demikian sms itu. Kabar duka itu tentu saja menyisahkan duka. Opa adalah kakak dari opa kandung saya yang menyusul sang adik ke sang pencipta.
Berita ini, membuat saya harus pulang Raijua untuk mengantarkan opa ke tempat peristirahatan terakhir. Setiap liburan SMA dan kuliah, saya tak pernah alpa menengok Opa. Maklum sejak Sma dan kuliah sudah perantauan. Hanya sekali pulanh libur.
Bagi kami keluarga keluarga Libu Heo. Opa Adi adalah teladan keluarga. Terlahir sebelum Indonesia merdeka, pekerja keras dan unik serta postur badan tegak tinggi 180 cm. Uniknya opa tak pernah makan nasi selama hidup.
Namun makanan Kesukaannya hanya jagung, sorgum dan kacang hijau. Minuman air gula dan tuak (nira), maupun air putih. Yang memasak pun istri tercinta.
Keunikan lain adalah, Opa tak makan makanan di tempat syukuran orang mati. Bahkan berkunjung ke keluarga tak makan karena takut daging atau pun ada rasa daging syukuran duka tadi.
Saya ingat betul, 20 tahun lalu opa berkali berkunjung ke tempat kami. Sebelum makan mesti tanya. Bahkan tak makan sama sekali walaupun lapar.
Kisah lain, adalah Opa mengajarkan kedisiplinan dan kerja keras. Maklum terlahir 13 September 1927, sebelum Indonesia merdeka. Masa penjajahan dan susah makan terasa.
Sebelum ayam berkokok, opa pasti sudah bangun ke Kebun. Perjuangan mencari sesuap nasi diajarkan opa. hidup tidak instan. Bahwa barangsiapa tidak bekerja jangan diberikan makan.
Rupanya prinsip itu, hasil refleksi dari praktek penjajahan Jepang dan Belanda yang cukup dirasakan opa.
Kami pun keluarga, telah mengantar opa ke tempat peristirahatan terakhir. Opa dikubur dalam kepercayaan kristen di samping rumah adat. Rumah tempat seharian Opa menghabiskan masa hidup.
Hingga usia 70an, Opa masih menganut kepercayaan lokal Sabu, Jingitiu. Kemudian atas permintaannya dibaptis mempercayai Yesus.
Opa sungguh memberikan teladan. Kini, tersisa 9 orang generasi sebelum Indonesia merdeka di kelurahan kami Ledeke. Selamat jalan Opa. (Pelipus Libu Heo)
Komentar
Posting Komentar