BUNG KARNO NEGO KERAJAAN TIMOR GABUNG RI.
Oleh Peter A. Rohi - Sejarawan
Penyerahan kedaulatan akhir tahun 1949 disambut gegap gempita di semua kerajaan yang ada di Karisidenan Timor yaitu Sumbawa, Flores, Timlor, Sumba, Rote, Sabu, Alor dll) . Tiga generasi kami berperang melawan Belanda sejak Kaizar Sonbai 1 sampai Kaizar Sonbai III, akhirnya merdeka juga. Kami anak-anak sekolah berbaris dan berteriak yel-yel: "Haket Mese, Haket Mese". Artinya berdiri di atas kaki sendiri, alias Merdeka! Belanda angkat kaki.
Tentu tidak semua tahu bahwa kedaulatan itu untuk seluruh Indonesia, bukan cuma Kerajaan-kerajaan Timor saja. Sejak penangkapan terhadap Kaizar Sobe Sonbai III, kerajaannya dipecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Kerajaan Sonbai tinggal Kerajaan Fatuleu, di mana ayahanda saya, Oni Rohi menjadi Jurutulis Kerajaan. Raja saat iu Hans Nisnoni yang baru mengganti kakaknya Don Alfonso Nisnoni. Fungsi jurutulis adalah menyelenggerakan semua administrasi dan pelaksana pemerintahan kerajaan sehari-hari.
Beberapa saat setelah penyerahan kedaulatan itu, ayah sibuk benar. Bung Karno akan berkunjung. Kerajaan menyambutnya besar-besaran dengan pasukan berkuda dan tarian perang. Raja Don Alfonso Nisnoni menyambutnya di lapangan terbang. Ayahanda saya dan beberapa pejabat ikut mendampingi. Mayor Kosasih, Komandan Detasemen Siliwangi yang mengambil alih tugas keamanan dari sekutu (Australia) juga hadir menyambut Bung Karno di lapangan terbang Penfui (kini El Tari).
Dari lapangan terbang, iring-iringan, pasukan berkuda, masyarakat, dan pelajar menyertai Bung Karno meletakkan karangan bunga di kaki Tugu Pembebasan. Tugu itu mula ramping dan cuma ada tulisan di lempengan seng yang mencantumkan empat kebebasan (Four Freedom)-nya Presiden AS Rossevelt.
Tetapi untuk menyambut kedatangan Bung Karno, buru-buru tugu itu dilingkari dengan lima lingkaran Pancasila.
Bung Karno memberi hormat militer, lalu meletakkan karangan bunga di situ. Mengheningkan cipta untuk rakyat Timor yang berjuang dan sebagian gugur untuk kemerdekaan, juga yang berjuang di Jawa dalam satuan-satuan militer yang ada di sana.
Kerajaan Gabung RI.
Seremonial menyambut Bung Karno bukanlah utama dari kunjungan Bung Karno. Ia ingin pemerintahana kerajaan di Timor dihapus dan gantinya adalah pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Maka usai berpidato pada rapat raksasa Bung Karno melakukan pembicaraan serius dengan para raja tokoh masyarakat dan para pemimpin organisasi politik. Ia menawarkan Pancasila dan UUD 45 yang membuat raja-raja rela menerima gagasan Bung Karno.
Oganisasi politik sejak awal memang sudah setuju bergabung dalam Negara Republik Indonesia.Raja-raja yang ikut dalam partai politik pun demikian. Yang jadi masalah, adalah fungsi dan kedudukan hukum adat dan struktur pemerintahan di jajaran bawah pemerintahan Kerajaan, seperti Fetor, Temukung, dan bernemen yang ratusan tahun memiliki fungsi dan kekuasaan dalam penyelenggaraan hukum adat. Masih ada lagi, "meo-meo". Meo-meo ini adalah para panglima perang yang memilikin kekuasaan mengerahkan pemuda dalam situasi perang.
Ayahanda saya yang walau sudah ikut dalam gerakan politik Timorche Verbond yang sudah berfusi dengan Partai Indonesia Raya (Parindra)-nya dokter Soetomo di Surabaya, tetap saja menghendaki pemerintahan adat yang kuat dan dipertahankan sampai saat masyarakat sudah matang menerima struktur pemerintahan nasional yang demokratis.
"Perlu waktu," kata ayah, kalau tidak masyarakat akan tercabut dari akar adat - istiadatnya. Permintaan itu yang disampaikan pada Presiden Soekarno, yang berjanji akan mempercepat pemantapan pemerintahan nasional.
Setahun kemudian Bung Hatta datang dengan missi yang sama. Merayu agar pemerintahan kerajaan segera dibubarkan.
Tahun 1953 Bung Karno datang lagi. Kali ini bersama Bung Tomo dan Cak Roeslan Abdoelgani. Bung Tomo berapi-api, pidatonya mengisahkan bagaimana pemuda-pemuda NTT berjuang bersama pada pertempuran 10 November di Surabaya, seperti Sofia Elizabeth Sijun, Francisca Fanggidae, Komandan dan wakil komandan Laskar Poeteri Soerabaya Utara, Alexander Abineno yang merebut jkapal perang Jepang di Surabaya dll. Semua memberi semangat persatuan yang luar biasa.
Cak Roes (Roeslan Abdoelgani) atas permintaan Bung Karno menunjukkan jarinya yang putus akibat ledakan granat dalam pertempuran Surabaya. Kami betrtepuk tangan dengan yel-yel "haket mese-haket mese" (Berdiri di atas kaki sendiri - atau Medrdeka, merdeka). Bung Karno kemudian mengadopsi istilah dalam bahasa Timor ini menjadi Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) yang bermakna merdeka. .
Sepulang Bung Karno, pemimpin-pemimpin PNI dan menyuswul PKI melakukan demo-demo yang menyerukan dipercepatnya pembubaran kerajaan-kerajaan.
Dua tahun kemudian setelah pendekatan raja-raja dengan masyarakat adat yang alot, akhirnya tahun 1955 diterimalah pembubaran kerajaan.
Raja-raja dengan rela melepaskan
"keagungan" dan "kemuliaan" mereka demi Indonesia. Ayahanda saya, yang ikut dalam perundingan dengan Bung Karno, akhirnya ditetapkan sebagai Hakim Adat senior di Pengadilan Negeri Kupang, yang dirintis Mr Engelbertus D. Johannes. Dengan begitu diharapkan hukum adat bisa menjadi jembatan menuju hukum nasional secara evolusi (bertahap).
Foto: Bung Karno disambut Raja Kupang Don Alfonso Nisnoni. Paling kiri pakai baret hitam Mayor Kosasih, Komandan Detasemen Siliwangi. Ayah saya (baju putih) dalam gambar berdiri agak belakang, di samping kiri Bung Karno.
Tulisan ini telah dimuat di laman facebook pribadi. Sejak diunggah 1 Juni 2017 pukul 13.34 Wita, tulisan mendapat tanggapan netizen 323 kali dibagikan dan 293 komentar hingga pukul 12.35 Wita.
Oleh Peter A. Rohi - Sejarawan
Penyerahan kedaulatan akhir tahun 1949 disambut gegap gempita di semua kerajaan yang ada di Karisidenan Timor yaitu Sumbawa, Flores, Timlor, Sumba, Rote, Sabu, Alor dll) . Tiga generasi kami berperang melawan Belanda sejak Kaizar Sonbai 1 sampai Kaizar Sonbai III, akhirnya merdeka juga. Kami anak-anak sekolah berbaris dan berteriak yel-yel: "Haket Mese, Haket Mese". Artinya berdiri di atas kaki sendiri, alias Merdeka! Belanda angkat kaki.
Tentu tidak semua tahu bahwa kedaulatan itu untuk seluruh Indonesia, bukan cuma Kerajaan-kerajaan Timor saja. Sejak penangkapan terhadap Kaizar Sobe Sonbai III, kerajaannya dipecah-pecah menjadi kerajaan-kerajaan kecil.
Kerajaan Sonbai tinggal Kerajaan Fatuleu, di mana ayahanda saya, Oni Rohi menjadi Jurutulis Kerajaan. Raja saat iu Hans Nisnoni yang baru mengganti kakaknya Don Alfonso Nisnoni. Fungsi jurutulis adalah menyelenggerakan semua administrasi dan pelaksana pemerintahan kerajaan sehari-hari.
Beberapa saat setelah penyerahan kedaulatan itu, ayah sibuk benar. Bung Karno akan berkunjung. Kerajaan menyambutnya besar-besaran dengan pasukan berkuda dan tarian perang. Raja Don Alfonso Nisnoni menyambutnya di lapangan terbang. Ayahanda saya dan beberapa pejabat ikut mendampingi. Mayor Kosasih, Komandan Detasemen Siliwangi yang mengambil alih tugas keamanan dari sekutu (Australia) juga hadir menyambut Bung Karno di lapangan terbang Penfui (kini El Tari).
Dari lapangan terbang, iring-iringan, pasukan berkuda, masyarakat, dan pelajar menyertai Bung Karno meletakkan karangan bunga di kaki Tugu Pembebasan. Tugu itu mula ramping dan cuma ada tulisan di lempengan seng yang mencantumkan empat kebebasan (Four Freedom)-nya Presiden AS Rossevelt.
Tetapi untuk menyambut kedatangan Bung Karno, buru-buru tugu itu dilingkari dengan lima lingkaran Pancasila.
Bung Karno memberi hormat militer, lalu meletakkan karangan bunga di situ. Mengheningkan cipta untuk rakyat Timor yang berjuang dan sebagian gugur untuk kemerdekaan, juga yang berjuang di Jawa dalam satuan-satuan militer yang ada di sana.
Kerajaan Gabung RI.
Seremonial menyambut Bung Karno bukanlah utama dari kunjungan Bung Karno. Ia ingin pemerintahana kerajaan di Timor dihapus dan gantinya adalah pemerintahan Negara Republik Indonesia.
Maka usai berpidato pada rapat raksasa Bung Karno melakukan pembicaraan serius dengan para raja tokoh masyarakat dan para pemimpin organisasi politik. Ia menawarkan Pancasila dan UUD 45 yang membuat raja-raja rela menerima gagasan Bung Karno.
Oganisasi politik sejak awal memang sudah setuju bergabung dalam Negara Republik Indonesia.Raja-raja yang ikut dalam partai politik pun demikian. Yang jadi masalah, adalah fungsi dan kedudukan hukum adat dan struktur pemerintahan di jajaran bawah pemerintahan Kerajaan, seperti Fetor, Temukung, dan bernemen yang ratusan tahun memiliki fungsi dan kekuasaan dalam penyelenggaraan hukum adat. Masih ada lagi, "meo-meo". Meo-meo ini adalah para panglima perang yang memilikin kekuasaan mengerahkan pemuda dalam situasi perang.
Ayahanda saya yang walau sudah ikut dalam gerakan politik Timorche Verbond yang sudah berfusi dengan Partai Indonesia Raya (Parindra)-nya dokter Soetomo di Surabaya, tetap saja menghendaki pemerintahan adat yang kuat dan dipertahankan sampai saat masyarakat sudah matang menerima struktur pemerintahan nasional yang demokratis.
"Perlu waktu," kata ayah, kalau tidak masyarakat akan tercabut dari akar adat - istiadatnya. Permintaan itu yang disampaikan pada Presiden Soekarno, yang berjanji akan mempercepat pemantapan pemerintahan nasional.
Setahun kemudian Bung Hatta datang dengan missi yang sama. Merayu agar pemerintahan kerajaan segera dibubarkan.
Tahun 1953 Bung Karno datang lagi. Kali ini bersama Bung Tomo dan Cak Roeslan Abdoelgani. Bung Tomo berapi-api, pidatonya mengisahkan bagaimana pemuda-pemuda NTT berjuang bersama pada pertempuran 10 November di Surabaya, seperti Sofia Elizabeth Sijun, Francisca Fanggidae, Komandan dan wakil komandan Laskar Poeteri Soerabaya Utara, Alexander Abineno yang merebut jkapal perang Jepang di Surabaya dll. Semua memberi semangat persatuan yang luar biasa.
Cak Roes (Roeslan Abdoelgani) atas permintaan Bung Karno menunjukkan jarinya yang putus akibat ledakan granat dalam pertempuran Surabaya. Kami betrtepuk tangan dengan yel-yel "haket mese-haket mese" (Berdiri di atas kaki sendiri - atau Medrdeka, merdeka). Bung Karno kemudian mengadopsi istilah dalam bahasa Timor ini menjadi Berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) yang bermakna merdeka. .
Sepulang Bung Karno, pemimpin-pemimpin PNI dan menyuswul PKI melakukan demo-demo yang menyerukan dipercepatnya pembubaran kerajaan-kerajaan.
Dua tahun kemudian setelah pendekatan raja-raja dengan masyarakat adat yang alot, akhirnya tahun 1955 diterimalah pembubaran kerajaan.
Raja-raja dengan rela melepaskan
"keagungan" dan "kemuliaan" mereka demi Indonesia. Ayahanda saya, yang ikut dalam perundingan dengan Bung Karno, akhirnya ditetapkan sebagai Hakim Adat senior di Pengadilan Negeri Kupang, yang dirintis Mr Engelbertus D. Johannes. Dengan begitu diharapkan hukum adat bisa menjadi jembatan menuju hukum nasional secara evolusi (bertahap).
Foto: Bung Karno disambut Raja Kupang Don Alfonso Nisnoni. Paling kiri pakai baret hitam Mayor Kosasih, Komandan Detasemen Siliwangi. Ayah saya (baju putih) dalam gambar berdiri agak belakang, di samping kiri Bung Karno.
Tulisan ini telah dimuat di laman facebook pribadi. Sejak diunggah 1 Juni 2017 pukul 13.34 Wita, tulisan mendapat tanggapan netizen 323 kali dibagikan dan 293 komentar hingga pukul 12.35 Wita.
Komentar
Posting Komentar